Jujur

 

“Cinta bukan pemberian, bukan kesepakatan bahkan bukan pula karena kasihan. Cinta adalah hati, dimana perasaan menjadi penjaganya, kasih sayang menjadi simbolnya dan kejujuran menjadi ruhnya.”

Wina, mahasiswi kampus yang menjadi sorotan minggu ini. Dia berhasil mengalahkan ketenaran Tiara gadis paling cantik di kampus. Wina berhasil menarik perhatian warga kampus dengan memenangkan kompetisi bisnis mahasiswa dengan produk olahan laut yang ditemukannya. Profosalnya mendapat tanggapan dari dinas perikanan dan kelautan.

Berkat penemuannya, Wina didaulat untuk mengembangkan hasil laut menjadi produk makanan yang nantinya di kembangkan dan diikutsertakan dalam ekspo hasil laut Indonesia di tingkat dunia. Pencapain ini melambungkan namanya dan menjadi pembicaraan mahasiswa dan dosen di kampusnya.

“Mana sih yang namanya Wina itu?” tanya Tiara pada Nina yang sedang asik menikmati minumannya.

“Tunggu saja, biasanya jam segini dia lewat,” jawab Nina sambil meneguk minumannya.

Tiara memang penasaran dengan ketenaran Wina. Beberapa mahasiswa selalu membicarakan Wina. Bahkan Milo, pria paling tampan di kampus juga kepergok sedang membicarakan gadis itu. Ada rasa cemburu di hati Tiara. Dia takut Milo yang diincarnya jatuh ke tangan Wina.

“Ra… itu Wina,” tunjuk Nina matanya mengarah kepada gadis bertubuh mungkil yang lewat di depannya.

“Yang mana? Gadis yang memakai baju kuning itu?” Tiara mengarahkan pandangannya pada gadis berbaju kuning yang keluar dari perpustakaan.

“Iya .. yang rambutnya di ikat, tuh dia ke sini.” Nina mengalihkan pandangannya ke tempat lain, dia tidak ingin gadis yang dibicarakannya mengetahui kalau dirinya sedang diperhatikan.

Benar saja, Wina mendekat dan duduk di samping meja mereka. Tiara dan Nina pura-pura tidak tahu, tapi dari sudut matanya Tiara terus memperhatikan gadis itu. Tiba-tiba seseorang duduk di depan Wina. Tiara sempat kaget hampir saja dia berteriak. Pria itu adalah Milo. Hati Tiara benar-benar kesal, rasa cemburu membakar hatinya.

“Kamu sudah siap Win?” Suara Milo terdengar pelan. Wina mengangguk sambil berdiri, tangannya meraih tas.

“Tidak usah buru-buru, kita minum dulu yah…!” ajak Milo menengadahkan wajah menatap Wina yang berdiri di depannya.

“Tidak usah, aku masih ada janji, kita langsung saja ke sana.” Jawab Wina sambil melangkah meninggalkan Milo.

Milo segera berdiri dan mengikuti langkah Wina. Tiara segera bangkit dan meminta Nina untuk mengikuti mereka. Milo dan Wina menuju secretariat Hima (Himpunan Mahasiswa), tempat Milo dan teman-temannya ngumpul. Mereka langsung masuk, Tiara dan Nina berhenti.

“Membicarakan apa mereka? sepertinya penting sekali, tapi aku yakin ini bukan urusan pribadi mungkin menyangkut kegiatan Hima dan aku yakin Milo hanya memanfaatkan Wina untuk kegiatan yang akan di adakan nanti,  Wina di minta untuk membuat profosal kegiatan yang akan di ajukan ke jurusan.” Duga Tiara.

“Bisa jadi, atau mungkin Wina di jadikan narasumber untuk kegiatan Hima, dia kan berhasil membawa nama baik kampus dan menjadi pemenang dalam kompetisi bisnis kemaren.” Cetus Nina.

Tiara mengangkat bahunya. Sebenarnya dia iri dengan keberhasilan Wina. Gadis sederhana dengan wajah pas-pasan itu mampu menarik perhatian Milo. Tiara dan Nina memutuskan untuk kembali ke kantin dan melanjutkan makan siangnya.

***

Milo menatap gadis yang sedang berbicara di depan podium. Seminar sehari yang diadakannya memboyong Wina untuk menjadi salah satu nara sumbernya. Bagi Wina hal ini menjadi pengalaman menarik, mengingat dia tidak pernah berbicara di depan mahasiswa di kampusnya.

Seusai mengisi acara Wina segera turun dari podium. Milo mendekat dan mengucapkan terimakasih. Berkat Wina semua kegiatan berjalan lancar dan sukses. Wina tersenyum dan menerima uluran tangan Milo. Ada rasa gemetar saat tangannya bersentuhan dengan Milo. Pria yang selama ini diam-diam diperhatikan Wina.

Ada bunga-bunga indah mekar di hati Wina. Bahagia rasanya melihat senyum di wajah Milo. Laki-laki yang menjadi idola di kampusnya. Di kejar wanita-wanita cantik. Bahkan oleh Tiara, wanita paling cantik di kampus. Wina berusaha menutupi kekagumannya  dan bergegas meninggalkan Aula.

“Win… tunggu!” seseorang memanggil Wina. Wina berhenti dan berbalik kearah suara. Terlihat seorang pria berjalan menghampirinya.

“Kenalkan aku Fahrel temannya Milo, aku diminta Milo mengantarmu pulang. Tadinya dia yang akan mengantar tapi Milo harus membuat laporan.” Fahrel mengulurkan tangannya.

Wina tersenyum dan menyambut tangan Fahrel. Dengan halus ia menolak ajakan Fahrel untuk mengantarnya. Fahrel hanya mengangguk kemudian berbalik meninggalkan Wina yang tersenyum menatapnya. Rasa bahagia tiba-tiba datang, senang rasanya diperhatikan Milo.

Langkah Wina terasa ringan. Untuk sesaat Wina menikmati perhatian yang diberikan Milo untuknya. Walaupun kebahagiaan semu.  Setidaknya Wina merasakan perhatian sang idola,  yang mungkin hanya  diberikan sekali saja.

Rutinitas kampus membuat Wina kehilangan waktunya. Apalagi kegiatan yang dilakukan bersama Dinas perikanan dan kelautan membuatnya nyaris tak bisa santai. Bukan saja waktu untuk Milo bahkan untuk dirinya sendiri. Wina benar-benar sibuk.

Wina menutup bukunya saat petugas perpustakaan memberikan tanda kalau perpustakaan akan segera tutup. Wina berdiri dan meraih tas disampingnya. Berjalan mendekati petugas dan meminjam buku yang belum selesai dibaca.

Dengan langkah terburu-buru Wina keluar dari perpustakaan. Dia ingin segera sampai rumah dan melanjutkan bacaannya. Tiba-tiba bruuug seseorang ditabraknya. Wina terjatuh membentur tembok. Kepalanya terasa pusing.

“Win… kamu tidak apa-apa?” Fahrel memburu Wina yang terduduk memegangi kepalanya. Wina menatap Fahrel sesaat, kemudian kepalanya terkulai. Fahrel segera meraih tubuh Wina sebelum tergeletak di lantai.

Wina membuka matanya perlahan. Menatap sekeliling kemudian kembali terpejam. Wina mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. Perlahan membuka matanya. Terlihat seseorang duduk disampingnya. Wina melirik pria itu. Milo tersenyum memandangnya. Wina segera bangkit dan mencoba duduk, namun kepalanya terasa sakit.

“Jangan bangun dulu, kepalamu terbentur tembok, dokter sudah memeriksanya katanya tidak apa-apa, mungkin sedikit pusing tapi nanti juga reda.” Ujar Milo sambil menatap Wina yang meringis kesakitan.

“Terimakasih, aku dimana, apakah Fahrel baik-baik saja?” tanya Wina, seingatnya Fahrel yang tadi ditabraknya.

“Kamu di rumah sakit, Fahrel baik-baik saja, dia sedang keluar, sebentar lagi kembali.” Jelas Milo matanya menatap Wina yang masih terpejam sambil memegangi kepalanya.

Tidak berapa lama terdengar langkah kaki menuju kamar. Fahrel membawa kantong berisi makanan dan buah-buahan. Disimpannya di meja. Tangannya meraih tangan Wina dan menanyakan keadaan Wina yang masih terpejam. Milo menjawabnya singkat. Matanya menatap tangan Fahrel yang masih mengenggam jemari Wina.

“Rel… aku ada janji dengan Tiara, kamu bisa jagain Wina?” Milo menatap Fahrel. Fahrel mengangguk sambil mengacungkan jempolnya. Milo berdiri matanya melirik kearah Wina yang masih terpejam. Menatapnya sebentar dan melangkah keluar.

Wina yang mendengar Milo hendak pergi segera membuka matanya. Ingin rasanya dia memanggil Milo namun mulutnya terasa kaku. Wina hanya bisa menatap punggung Milo yang melangkah menuju pintu. Wina menarik napas panjang dan berusaha menghilangkan rasa kecewa dihatinya. Apalah arti dirinya  jika dibandingkan dengan Tiara.

Fahrel duduk disamping Wina. Dengan sabar dia menjaga Wina sampai keluarga Wina datang. Tidak sampai disitu setelah Wina keluar dari rumah sakit, Fahrel sering ke rumah Wina untuk sekedar main atau menjemput Wina ke kampus. Kesabaran dan kebaikannya memberi ruang sendiri di hati Wina. Tapi tetap tidak bisa menggantikan kekagumannya pada Milo.

Sampai suatu saat Fahrel menyatakan cintanya. Namun Wina tidak bisa menjawab. Dia tidak memiliki perasaan untuk Fahrel selain persahabatan. Kalau dia menerima ini tidak adil untuk Fahrel. Dengan halus Wina menolak. Baginya cinta bukan hal yang bisa diberikan kepada siapa saja. Apalagi hanya untuk menjaga perasaannya. Cinta hanya diberikan untuk mereka yang benar-benar dia cintai.

Walau harus kehilangan Fahrel tapi dia tidak kehilangan hatinya. Kejujuran mungkin terasa pahit. Tapi lebih pahit saat tahu kenyataan yang sesungguhnya. Milo mungkin tidak tahu Wina mencintainya. Setidaknya Wina tidak membohongi perasaannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

A. MENGENAL NEGARA-NEGARA ASEAN

SEGITIGA RESTITUSI