NENEK PENJUAL HENNA
Berjalan di teriknya matahari
dengan suhu 41° membuat kepala terasa pusing. Beberapa diantara kami mengeluarkan
air di dalam botol dan mulai menyemprotkannya ke wajah atau kepala untuk
mengurangi rasa panas. Keringat mulai membasahi kening dan wajahku. Kepalaku
sedikit pusing, mataku mulai nanar namun aku terus berjalan. Jalan yang kami
lalui mulai menanjak. Kakiku sedikit pegal namun kuterus berjalan mengikuti Langkah
mereka. Para pedagang berjajar di sepanjang jalan. Mereka menjajakan dagangan yang
digelar diatas meja-meja beratapkan tenda sederhana. Sesekali mataku melirik mereka dan berusaha mencari satu wajah yang mungkin aku kenal.
Rombongan terus berjalan kami
berhenti pada sebuah tempat yang di kelilingi pagar kawat. Wajahku terasa panas
Ketika angin berhembus. Yah… angin disini terasa panas berbeda sekali dengan
angin ditekmpatku yang terasa sejuk dan menyegarkan saat berhembus.
“Ibu dan Bapak, kita sudah
sampai, kita berdo’a dulu untuk para syuhada yang meninggal di tempat ini”.
Ucap seorang lelaki muda. Aku menyebutnya Ustad ganteng. Panggilan itu memang
pantas untuknya selain pintar, wajahnya juga tampan dan yang membuatku bangga
adalah usianya masih sangat muda. Senang rasanya melihat anak muda yang
cekatan, bertanggung jawab dan pintar. Kami mulai berdo’a dan aku pun mulai
memanjatkan do’a terbaikku.
“Ibu dan Bapak, jika ada yang mau
naik ke bukit itu silahkan, saya tunggu di bawah, jika sudah selesai langsung
menuju bis saja,” ucap ustad ganteng sambil menunjuk bukit dimana banyak orang naik ke atasnya. Aku dan beberapa orang dalam rombonga segera berjalan menuju bukit yang
ditunjuk. Aku berusaha menaiki bukit tersebut. Sudah menjadi menjadi
cita-citaku jika bisa Kembali ke tempat ini aku mau menaiki bukit itu.
Perlahan aku menaiki bukit,
kakiku sedikit gemetar saat menginjak batu diatasnya. Batu itu bergerak saat
aku injak. Aku berusaha menyeimbangkan langkahku dan terus naik untuk mencapai
puncak. Aku merayap dengan berpegangan pada batu disampingnya. Perlahan aku
menaiki batu-batu terjal di bukit itu. Dengan susah payah akhirnya aku sampai
di puncak. Ku usap peluh di wajahku. Ku lihat sekeliling, alangkah indah tempat
ini. Ada kebahagian sekaligus rasa ngeri saat membayangkan peristiwa yang
terjadi ribuan tahun yang lalu. Mataku mulai basah, betapa sulitnya mereka saat
itu.
Berjuang mempertahankan keimanan
dan melawan kebathilan. Dengan gagah
berani berusaha menghalau lawan dan membentangkan anak panah. Namun Allah
berkehendak lain. Kemenangan yang mereka rasakan ternyata hanya sesaat dan
setelahnya mereka harus menerima kenyataan bahwa mereka gugur dan menjadi syuhada.
Namun aku yakin mereka Bahagia di sisi-Nya.
Setelah puas menikmati pemandangan
di atas bukit. Aku putuskan untuk turun dan menuju bis yang terparkir jauh di
sebrang sana. Namun langkahku terhenti Ketika seorang Perempuan menawarkan
dagangannya. Aku kasihan melihatnya. Kuambil uang satu lembar dan kuberikan
kepadanya. Perempuan itu memberiku dua bungkus henna bubuk. Aku menerimanya dan
memasukannya ke tas. Aku terus bergegas menuju kerumuman para pedagang di bawah
bukit.
Aku terus berjalan menyusuri
tenda-tenda para pedagang. Mataku tak berhenti mencari sosok yang aku kenal. Namun
setelah jauh berjalan aku belum juga menemukannya. Aku mulai putus asa saat hampir
sampai di ujung tenda. Waktu yang diberikan ustad ganteng tinggal sedikit lagi.
Aku terus berjalan sampai akhirnya mataku tertuju pada seorang nenek yang
berjalan bungkuk menuju sebuah mobil. Aku bersorak dan berlari mendekat.
“Assalamu alaikum, “ ku ucap
salam kepadanya. Nenek itu menatapku, aku tersenyum namun nenek segera berlalu.
Rupanya dia tidak mengenalku. Aku bergegas mengejarnya. Nenek Kembali berhenti
dan mulai berbicara, aku sedikit bingung aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Aku
segera mengeluarkan sebuah bungkusan yang aku siapkan dari rumah. Kuberikan benda itu kepadanya,
namun dia tidak mau menerimanya dan dengan bahasa isyarat dia memintaku untuk
menjauh.
Aku berusaha menyakinkan bahwa
aku hanya ingin memberikan benda itu. Namun nenek tidak peduli, dia langsung
naik ke mobil. Aku bengong, mengapa orang di sini tidak suka di beri, apa
mungkin mereka takut padaku. Aku Kembali mengejarnya. Namun seorang laki-laki
menghalangiku dengan bahasa isyarat dia memintaku untuk menjauh. Aku berhenti
mataku mulai berair, aku berusaha menyakinkan laki-laki itu dan menjelaskan maksudku. Namun dia tetap tidak
mengerti.
Aku terus berbicara dengan Bahasa
isyarat dan mencoba menjelaskan maksudku. Tanganku tak terhenti bergerak, aku berusaha
semampu yang aku bisa. Akhirnya laki-laki itu menunjuk seorang pedagang Perempuan
di sampingnya agar benda tersebut di berikan kepada Perempuan itu.
Aku sedikit bingung namun kuputuskan
untuk memberikan benda itu kepada Perempuan yang dimaksud. Dengan Bahasa isyarat
aku berusaha menyakinkan Perempuan itu bahwa benda yang ku bawa akan kuberikan
pada nenek yang tadi naik mobil. Perempuan itu sepertinya tidak mengerti dia
hanya bengong memandangku. Aku mulai putus asa. Aku terus berbicara dengan
bahasaku.
“Setahun yang lalu saya ke sini,
dan membeli beberapa bungkus henna yang di jual oleh nenek tadi. Nenek memberi
saya banyak sekali padahal uang yang saya punya cuma sedikit. Saya sangat
berterima kasih pada nenek, saya berjanji suatu saat jika saya ke sini lagi
saya akan memberinya hadiah. Dan alhamdulilah saya kesini lagi dan sebagai ucap
Syukur saya ingin memberikan benda ini untuknya.” Ucapku sambil memberikan
bungkusan yang aku bawa. Perempuan itu menerimnya sambil terus menatapku.
“Hadiah..?”tanyanya.
Mataku berbinar, aku mengangguk
rupanya dia mengerti saat aku bilang itu hadiah.
“Ya… ini hadiah untuk nenek tadi.”
Jawabku sambil menunjuk ke arah mobil yang membawa si nenek.
Perempuan itu tidak menjawab,
tapi itu cukup bagiku. Aku segera berbalik dan berlari menuju mobil yang
terparkir di sebrang jalan.
Komentar
Posting Komentar