DIA SAHABATKU
Litta
memandangku tak percaya. Senyum di bibirnya nampak hambar. Dia meragukan apa
yang aku katakan.
“Percalah dia itu sahabatku...!” Aku berusaha meyakinnya. Tapi Litta sepertinya tidak ingin mendengar perkataanku. Dia berlalu tanpa menoleh. Aku hanya diam, kulanjutkan langkahku menuju kelas. Aku tidak ingin terlambat mata kuliah ini. Aku mendapatkan nilai D untuk yang pertamakalinya.
Bergegas kumasuki kelas. Bergabung dengan adik angkatanku. Ada rasa malu saat duduk bersama mereka. Tapi aku rasa bukan aku saja yang mengulang, diantara mereka aku melihat kakak angkatanku. Ku bulatkan tekadku untuk fokus pada materi ini. Aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu untuk yang kedua kalinya. Nilai minimal B harus aku dapatkan.
Kuliah
berakhir, aku kembali ke perpustakaan. kucoba selesaikan tugas yang tadi
tertunda. Tanpa kusadari Farhan duduk disampingku.
“Serius
bener? Ada tugas Win…?” Farhan meledekku. Dia sudah tahu kalau aku mendapatkan
tugas ini.
“Kamu
sudah selesai?” Kulirik Farhan, tanganku tak berhenti menulis.
“Belum,
masih banyak waktu, kita nonton yuk…!” ajak Farhan
“Kapan?”
Aku berhenti sejenak, kupandang wajah Farhan.
“Nanti
sore, kamu gak ada kuliah kan?” Farhan menatapku.
“Kamu
mau apa dari aku?” Ku tutup buku dan memasukannya ke tas.
“Menyakinkan
Litta kalau kamu sahabatku.” Jawab Farhan tenang.
“Mengapa
harus nonton?” Suaraku sedikit tegang.
“Hanya
itu caranya.” Farhan menempelkan jarinya kemulutku.
“Baiklah, kamu jemput aku di rumah, aku mau tahu bagaimana caramu menyakinkan Litta dengan mengajaku nonton.” Kutinggalkan perpustakaan. Farhan terlihat senang.
Sore
itu aku sudah bersiap. Kulirik jam ditangan. Tinggal beberapa menit lagi. Jika Farhan tidak datang tepat waktu, sudah kupastikan aku tidak akan berangkat.
“Mau
kemana Win..?” Tanya ibu
“Mau
nonton sama Farhan Bu.”
“Jangan
malem-malem pulangnya.”
“Iya
bu.”
Terdengar
suara mobil berhenti di depan rumah. Aku segera membuka pintu. Farhan dan Litta berdiri
disamping mobil.
“Sudah
siap Win?” Farhan tersenyum.
“Sudah,
ayo berangkat.” Aku berjalan menuju mobil. Naik dibelakang dan menyandarkan
tubuhku senyaman mungkin.
“Kamu
di depan Win, biar aku di belakang.” Litta memintaku untuk pindah.
“Kamu
saja aku tidak mau jadi penunjuk jalan, Farhan suka lupa arah.” Jawabku
sejujurnya.
Litta
terdiam, segera masuk dan duduk disamping Farhan. Mobil melaju perlahan. Aku mulai
mengantuk. Kegiatan tadi siang cukup melelahkan, kututup mataku dan tertidur. Aku
terbangun saat Litta membangunkan aku. Segera ku ambil tas dan melangkah menuju
pintu teater.
“Kamu
mau nonton film apa?” tanya Farhan.
“Terserah
kamu berdua aku ikut saja.” Aku mulai melihat-lihat judul film yang akan
tayang. Litta dan Farhan mendekati loket kemudian memesan 3 tiket. Farhan
mendekatiku. Litta menunggu di pintu masuk.
“Win…
ayo Litta sudah menunggu.” Farhan menuntun tanganku. Aku berusaha melepaskannya.
“Aku bukan anak kecil, kamu jalan saja dulu.” Sambil
ku tarik tanganku. Farhan tersenyum dan
berjalan menuju Litta yang terus memperhatikanku.
Film
yang ditayangkan ternyata film drama romantic yang tidak aku suka. Aku benar-benar
bĂȘte. Aku sandarkan tubuhku ke kursi dan kembali aku teridur. Aku terbangun
saat Litta mengguncang tubuhku. Lampu teater menyala. Ku kerjapkan mataku,
cahaya lampu menyilaukan pandanganku. Untuk sesaat aku terdiam, lalu dengan
malas aku berdiri dan melangkah ke luar.
Farhan
mengajak aku dan Litta makan. Sebenarnya perutku tidak lapar, tapi demi Farhan, aku meminta segelas kopi dan menemani
mereka makan.
Seminggu
telah berlalu. Litta menjemputku dengan motornya. Aku heran tidak biasanya dia
datang.
“Kamu
mau jemput aku kuliah? Farhan tidak menjemputmu?” tanyaku sambil menatap Litta
tajam.
“Aku
ingin berdua dengan kamu Win.” Jawab Litta sambil tersenyum
“Kenapa?”
Aku mengeryitkan dahiku.
“Berterimakasih,
karena kamu aku yakin Farhan benar-benar mencintaiku.” Jawab Litta bersemangat.
“Aku
sudah bilang begitu kan?” Jawabku sambil duduk dibelakang.
“Maafkan
aku, tapi waktu itu aku tidak yakin, aku pikir Wina si kutu buku jatuh cinta
dengan Farhan, ternyata dia tetap cinta dengan bukunya.” Litta tertawa geli. Aku
terdiam, dalam hati aku bersyukur, aku bisa membantu Farhan menyakinkan Litta.
Komentar
Posting Komentar