SAPU LIDI NEK IJAH
Hari itu kami bersih-bersih
setelah hampir 3 hari banjir melanda tempat kami. Semua keluarga ikut membantu,
tidak terkeculi si kecil. Dia mengeluarkan sepeda kesayangannya yang
penuh dengan lumpur. Membawanya ke halaman dan mulai menyiramkan air
menggunakan ember dan gayung yang sengaja ku sediakan. Listrik masih belum
menyala, kami belum bisa menggunakan pompa untuk menyedot air dari sumur. Suami
membuka tutup sumur dan megambil airnya untuk
bersih-bersih.
Aku sendiri membersihkan perabot
dan lantai yang penuh dengan lumpur. Nissa anak tertuaku membersihkan sampah yang
menumpuk dibelakang. Sampah yang datang bersama air sungguh tidak sedap dipandang.
Berbagai jenis sampah ada disana, dari mulai kayu, sandal, sepatu, baju bahkan
bangkai binatang.
“Mah…. Sapu lidi kemana? Kok gak
ada, apa mungkin terbawa air ya …?”
Nissa berteriak dari belakang. Segera
kuhentikan pekerjaanku. Melangkah ke garasi dan mencari sapu lidi yang
dibutuhkan Nissa. Beberapa sapu tersimpan di sana. Aku mengambilnya satu, dan
diberikan ke Nissa.
“Ini masih baru…? Ujungnya sangat
lembut boleh Nissa potong..?”
“Ya… dipotong saja, “ jawabku
sambil mengambil pisau untuk memotong ujung sapu lidi tersebut.
“Mamah beli dimana? Memang ada
warung yang sudah buka?” Nissa menatapku.
“Mamah beli dari nek Ijah,
kemaren.”
“Oh… nek Ijah yang suka bohong
itu yah..., kemaren masih banjir, emang dia jualan..?”
Aku mengangguk dan kembali
meneruskan pekerjaanku. Terbayang saat aku membeli beberapa buah sapu lidi yang
dibawa nek Ijah. Saat itu aku bersama si kecil, mau menengok rumah sahabatku
yang kebanjiran. Aku pikir airnya sudah surut. Ternyata tempatnya lebih rendah
dari tempatku, air masa setinggi lutut orang dewasa di sana. Khawatir terjadi
sesuatu. Aku mengurungkan niatku kesana dan kembali pulang.
Banjir yang terjadi bukan dari
air hujan. Air berasal dari sungai. Tanggulnya tidak kuat menahan debit air
yang terlalu besar. Tanggulpun jebol dan banjirpun terjadi. Air yang datang
begitu deras, hampir 3 hari tempat kami kebanjiran. Bahkan dibeberapa tempat air masih deras
mengalir termasuk di rumah sahabatku.
Saat pulang aku bertemu nek Ijah.
Seorang penjual sapu lidi. Dia hidup seorang diri. Anak-anaknya merantau ke
kota dan menetap di sana. Beberapa bulan yang lalu suaminya meninggal. Dia membawa
beberapa sapu lidi untuk dijual. Langkahnya yang sudah lemah harus berjalan di
derasnya air. Aku mencoba menghentikan dia. Aku khawatir terjadi sesuatu
kepadanya.
“Mak… jangan jualan ke sana,
airnya masih deras nanti jatuh.”
Nenek Ijah hanya menatapku. Wajahnya
yang keriput nampak pucat. Tangannya terlihat gemetar memegang sapu
ditangannya.
“Kalo Mak tidak jualan, nanti makan apa? Tadi ada sumbangan Mak gak dapet.”
“Kenapa? Bukannya sumbangan itu
buat yang kebanjiran?” Aku menatapnya heran.
“Ya… katanya nanti dibagi tiap
RT, tempat Mak kebagiannya besok…,” jawab nek Ijah wajahnya terlihat sedih.
Nenek Ijah biasanya selalu
bahagia. Dia menjajakan dagangannya dengan
suara khas dengan logat betawi. Tidak banyak sapu yang dia bawa paling banyak 5
buah. Sapu lidi yang dijualnya adalah hasil memungut dari beberapa tangkai pohon
kelapa milik tetangganya yang sudah tua kemudian jatuh dan diberikan untuknya.
Kadang untuk membuat orang
membeli sapunya dia berbohong. Aku dan suamiku sering dia bohongi. Jika aku
tidak di rumah dia akan bilang pada suamiku kalau aku memesan sapunya dan
memintanya untuk mengantar ke rumah. Suamiku langsung membayarnya. Bukan hanya
satu, bisa 2 atau 3 buah. Padahal aku tidak pernah memesannya. Begitu juga
jika suamiku tak di rumah dia akan bilang hal yang sama kepadaku. Walaupun aku
sudah tahu kebohongannya. Aku tetap saja membayarnya. Aku memaklumi keadaannya.
Tidak heran beberapa sapu lidi selalu tersedia di rumah. Kadang aku membaginya
pada tetangga.
“Sini saya beli saja sapunya … tapi
saya tidak bawa uang, gimana kalau Mak ikut ke rumah.”
Nek Ijah nampak gembira. Dia memberikan
2 buah sapu ditangannya.
“Satu lagi buat siapa Mak..?”
“Ini buat yang di depan balai
desa, sekalian Mak mau kesana katanya ada pembagian sumbangan siapa tahu dikasih.”
“Mak mau ke rumah sekarang atau
ke balai desa dulu?”
“Ke balai desa dulu, nanti
pulangnya ke rumah Neng.”
Neng adalah panggilan nenek
untukku. Nek Ijah meninggalkan aku sambil membawa satu buah sapu lidi
ditangannya. Aku kembali berjalan ditengah derasnya air. Dengan hati-hati aku menuntun si kecil. Tangan
kananku membawa dua buah sapu lidi.
Tiba-tiba kakiku menginjak
sesuatu yang licin aku terpeleset si kecilpun terjatuh. Begitupun aku, sapu ditanganku
berantakan. Si kecil bukannya menangis malah tertawa bahagia. Baju dan
celananya basah dia berlari sambil tertawa. Aku mengejarnya namun terlambat si
kecil terjatuh di selokan. Aku segera meraihnya. Jantungku hampir copot dibuatnya. Bagaimana jika
dia tenggelam. Untunglah tidak terlalu dalam hanya sebatas dadanya saja.
“Jangan berlari dan melepaskan tangan Mamah.” Aku
memeluk dan mendekapnya erat.
Aku kembali ke rumah dengan
pakaian basah dan sapu yang berantakan. Segera ku mandikan si kecil dan
memintanya untuk tetap di rumah. Terdengar pintu di ketuk. Ku buka pintu. Nek Ijah nampak dengan sebuah sapu lidi
ditangannya.
“Sapunya belum ada yang beli Mak..?”
Nek ijah hanya menggeleng. Wajahnya
nampak murung.
“Biar saya beli saja ya ..?”
“Jangan neng udah punya.”
Nek ijah menyimpan sapu lidi di
lantai. Melangkah ke kursi dan duduk santai sambil mengeluarkan rokok dari saku
dan menyalakannya. Nek Ijah memeng suka merokok. Dia pernah sakit gara-gara
rokok. Tapi entah kenapa tidak juga berhenti merokok.
“Tadi di bale desa ada pembagian
sumbangan tapi yang ngambil pak RT, katanya nanti pak RT yang membagikan,” nek
Ijah mulai cerita.
“Jadi emak gak kebagian sumbangan lagi?” tanyaku sambil
memandang nek Ijah yang duduk santai sambil memainkan asap rokoknya.
Nek Ijah hanya mengangguk. Aku segera
ke dapur ku ambil kantong plastik dan memasukan beberapa mie instan ke
dalamnya. Aku memberikan uang untuk membayar sapu lidi dan memberikan kantong plastik
berisi mie instant. Nek Ijah nampak bahagia. Dia menerima uang itu dan kantong plastic
dengan gembira.
“Tidak ada kembalian..!” sambil
memasukan uang itu ke saku celananya.
Aku hanya tersenyum. Dia memang
tidak pernah membawa uang kecil untuk kembalian. Biasanya aku merelakan dan
memang sengaja membayarnya lebih. Setelah habis sebatang rokok dia segera
bangkit dari duduknya.
“Makan dulu mak..?”
“Kagak ntar aja di rumah…. Makasih
ya neng, emak pulang dulu.”
Nek Ijah mengambil sapu dan
kantong plastik yang berisi mie instan. Kemudian pamit pulang. Wajahnya nampak
gembira. Aku hanya menatapnya. Nek Ijah begitu bahagia dengan apa yang
terimanya saat ini. Sangat berbeda
denganku yang selalu saja merasa kurang dengan rejeki yang kuterima. Kadang mengeluh
dan meminta lebih dari suamiku.
Komentar
Posting Komentar